badarnusantaranews.com|Kab.Bekasi-Masalah kesenjangan antara kaya dan miskin di Indonesia sudah ada sejak tahun 1930 dikenali oleh Prof. Boeke dalam bukunya yang berjudul “Dualistische Economie”. Inti dari bukunya adalah bahwa perekonomian Indonesia terdiri atas dua bagian yang tidak terkait antara satu dan lainnya yaitu perekonomian perkotaan dan perekonomian perdesaan, yang ditandai dengan kesenjangan yang sangat luar biasa besarnya. Tidak ada daya tarik atau pull effect dari ekonomi perkotaan terhadap ekonomi perdesaan, dan juga tidak ada trickle down effect dari ekonomi perkotaan terhadap ekonomi perdesaan. Kondisi seperti ini yang membuat kesenjangan luar biasa antara kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di perkotaan dan perdesaan.
Penyebab dari kesenjangan yang sangat besar ini adalah apabila liberalisme diberlakukan sejauh mungkin, pertumbuhan ekonomi akan besar, tetapi akan disertai dengan kesenjangan antara kaya dan miskin besar pula. Jadi, sistem ekonomi suatu bangsa sangat menentukan tingkat keadilan dari bangsa yang bersangkutan. Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia sangat liberal, dalam arti keikutcampuran pemerintah dalam bidang produksi, distribusi, dan konsumsi harus sekecil mungkin. Dalam sistem ekonomi demikian, berdampak terhadap pertumbuhan yang relatif besar setiap tahunnya, tetapi disertai kesenjangan yang lebih besar lagi. Dalam bukunya yang berjudul “Capitalism in the 21st Century”, Thomas Piketty menemukan bahwa return on capital lebih besar dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) di bagian-bagian dari dunia yang menganut liberalisme yang sejauh mungkin.
Salah satu indikator dalam mengukur kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat tingkat kesenjangan ekonomi di dalamnya. Semakin besar ketimpangan terjadi memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terjadi secara merata sehingga terjadi deviasi dari rata-rata pengeluaran per kapita antar kota/kabupaten dalam satu provinsi atau antar provinsi dalam satu negara. Ketimpangan masyarakat ini diukur salah satunya dengan koefisien gini (gini ratio) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Koefisien gini (gini ratio) adalah ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Nilai koefisien gini (gini ratio) berkisar antara 0 – 1. Semakin tinggi nilai koefisien gini (gini ratio) menunjukkan kesenjangan yang semakin tinggi.
Berdasarkan pada Ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (RLPPD) Kabupaten Bekasi Tahun 2023 menguraikan bahwa Angka Gini Rasio Kabupaten Bekasi pada periode tahun 2010 – 2023 menunjukkan adanya fluktuasi dengan tren yang meningkat. Pada tahun 2023, rasio gini Kabupaten Bekasi sebesar 0,397. Angka ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2022 yang sebesar 0,373. Trend kesenjangan meningkat, sehingga adanya perbedaan antara distribusi pengeluaran kelompok kaya dengan kelompok miskin.
Untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi dilakukan pemerataan pembangunan antarwilayah. Pembangunan wilayah bertujuan untuk meningkatkan daya saing wilayah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan antarwilayah, serta memajukan kehidupan masyarakat. Pembangunan wilayah yang strategis dan berkualitas menjadi harapan setiap daerah di Indonesia. Pembangunan wilayah selain meningkatkan daya saing wilayah juga mengupayakan keseimbangan pembangunan antardaerah sesuai dengan potensinya masing-masing.
Berdasarkan pada RPJMN 2020-2024, pembangunan di wilayah Provinsi Jawa Barat diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan nasional, sebagai berikut; Percepatan pembangunan desa secara terpadu untuk mendorong transformasi sosial, budaya, dan ekonomi desa yang didukung dengan Tata kelola pemerintahan yang baik melalui peningkatan kapasitas aparatur desa, pendampingan, dan peran serta masyarakat desa yang inklusif; Penetapan batas desa; Pengembangan desa wisata, desa digital, dan produk unggulan desa dan kawasan perdesaan; Pengembangan BUM Desa/BUM Desa Bersama; Peningkatan pelayanan dasar desa; Optimalisasi pemanfaatan dana desa untuk mendorong kegiatan produktif; Memberdayakan masyarakat desa termasuk membiayai pendamping lokal desa; dan Penguatan peran kecamatan sebagai pusat perubahan dan pertumbuhan, serta pembinaan dan pengawasan desa.
Kabupaten Bekasi menjadi salah satu prioritas koridor pertumbuhan. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bekasi dilakukan dengan fokus pertama pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Upaya pemerintah daerah kabupaten Bekasi dalam Meningkatkan Kualitas Tata Kelola Keuangan dan Aset Desa dalam rangka Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan, bukan tanpa kompleksitas persoalan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Kualitas Tata Kelola Keuangan dan Aset Desa dalam rangka Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan Tahun Anggaran (TA) 2021 s.d. Semester I 2023 pada Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Instansi Terkait lainnya di Cikarang, dan mengungkap sejumlah persoalan.
Pertama, Hasil pemeriksaan BPK atas upaya pemerintah daerah kabupaten Bekasi dalam penguatan kelembagaan terkait pengelolaan keuangan dan aset desa, mengungkap sejumlah permasalahan, yakni; Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Sepenuhnya Melakukan Upaya Penguatan Kelembagaan Desa; Pembinaan Pemerintah Kabupaten Bekasi kepada LKD untuk Optimalisasi Tugas dan Fungsi LKD dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Desa Belum Optimal; Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Kabupaten Bekasi terhadap Musyawarah Desa Belum Memadai; Pemerintah Desa Belum Mengidentifikasi Potensi Desa yang Dapat Dikerjasamakan dan Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Memiliki Pola Kerja Sama Antardesa terkait Pengelolaan Keuangan dan Aset Desa.
Kedua, Hasil pemeriksaan BPK atas upaya pemerintah daerah kabupaten Bekasi dalam peningkatan tata kelola keuangan desa, mengungkap sejumlah permasalahan, yaitu; Perencanaan Pembangunan Desa yang Disusun oleh Pemerintah; Kabupaten Bekasi dan Pemerintah Desa Belum Sepenuhnya Selaras dengan Perencanaan Strategis Nasional untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan, serta Penyusunan APBDes Belum Berpedoman pada Ketentuan yang Berlaku; Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Sepenuhnya Mendukung Pemerintah Desa untuk Melaksanakan Pengelolaan Keuangan Desa; dan Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Optimal.
Ketiga, Hasil pemeriksaan BPK atas upaya pemerintah daerah kabupaten Bekasi dalam peningkatan tata kelola aset desa, mengungkap sejumlah permasalahan, yaitu Perencanaan Pengelolaan Aset Desa oleh Pemerintah Desa Belum Disusun Secara Memadai; Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Sepenuhnya Mendukung Pemerintah Desa untuk Mengadakan, Mengamankan, Menatausahakan dan Memanfaatkan Aset Desa secara Memadai; dan Pengawasan dan Pembinaan Pengelolaan Aset Desa oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Memadai.
Dan keempat, Hasil pemeriksaan BPK atas upaya pemerintah daerah kabupaten Bekasi dalam pengembangan BUMdes untuk penguatan ekonomi daerah, mengungkap sejumlah permasalahan, yaitu; Pembentukan BUM Desa Belum Sepenuhnya Didukung dengan Peraturan dan Kebijakan yang Memadai; Pendirian BUM Desa Belum Didukung dengan Analisis Kelayakan Usaha yang Memadai; Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Menetapkan Produk Unggulan Daerah; Pengelolaan BUM Desa Belum Dilakukan Secara Profesional; dan Pembinaan dan Pengawasan BUM Desa oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi Belum Memadai.
Ke empat hal di atas perlu mendapat perhatian agar tata kelola keuangan dan aset desa berkualitas dalam rangka mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan, sehingga kesenjangan pendapatan di masyarakat di Kabupaten Bekasi menurun.
Pada Jum’at (28/06/2024) Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi menyelenggarakan Workshop Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Desa Tahun 2024 Pada Pemerintah Kabupaten Bekasi, di Hotel Holiday Inn Cikarang dan dibuka langsung oleh Penjabat Bupati Bekasi Haji Dani Ramdan.
Apakah itu penanda dimulainya tata kelola keuangan dan aset desa lebih optimal, berkualitas dan transparan dalam rangka mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan? Smoga ! Jika bukan, maka itu hanya ritus seremoni gugurkan kewajiban. Jangan sampai pejabat publik terkait, melakukan apa yang oleh Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra disebut sebagai simulasi realitas. Dalam konteks ini si Pejabat bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan padahal tidak sama sekali. (Redaksi BN News)