Inspirasi Populer Tajam dan Terkini
IndeksRedaksi

Bukan Kebijakan Publik Yang Empatik

Bukan Kebijakan Publik Yang Empatik

Oleh :Izhar Ma’sum Rosadi, Warga Kab Bekasi, Pengamat Kebijakan Publik dan Ketua Umum DPP LSM Baladaya (Jumat 15 Desember 2023).

 

BNNEWS|Kabupaten Bekasi -Kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Untuk mengukur tingkat kemiskinan di kabupaten Bekasi, Badan Pusat Statistik (BPS) menyediakan data. Data BPS Kabupaten Bekasi 2022 (Buku Bekasi dalam angka 2022) menunjukkan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bekasi tahun 2019 sebesar 149,4 ribu jiwa, tahun 2020 sebesar 186,3 ribu jiwa, tahun 2021 sebesar 202,7 ribu jiwa dan pada tahun 2022 sebesar 201,1 ribu jiwa. Lalu kemudian, Persentase Penduduk Miskin tahun 2019 sebesar 4.01 %, tahun 2020 sebesar 4,82%, tahun 2021 sebesar 5,21% dan pada tahun 2022 sebesar 5,01%. Butuh peran serta semua pihak, terutama hadirnya negara untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan daya tahan hidup serta meningkatkan kualitas hidup rakyat. Hal yang diperlukan diantaranya adalah membangun empati di situasi sulit seperti saat ini. Mereka yang menjadi pejabat pemerintah, tokoh, public figure, dan lain-lain harus mengembangkan sensitivitas sosial. Salah satu yang dapat menciptakan perbaikan mendesak adalah kebijakan publik yang empatik.

 

Merujuk pada sejumlah literatur, kebijakan publik merupakan pengalokasian nilai-nilai secara sah/paksa kepada seluruh masyarakat (David Easton dalam bukunya yang berjudul The Political System ). Sementara itu definisi yang diberikan Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever government choose to do or no to do”, artinya, kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintahan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Kebijakan publik harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Joko Pramono (2020) dalam bukunya “Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik” menguraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi dari suatu kebijakan public, salah sat diantaranya adalah tidak bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkannya. Emmanuel Lee (2017) dalam tulisannya yang berjudul “Policymaking must become more empathetic rather than continuing its current overreliance on economic measures”, menguraikan bahwa Kebijakan publik yang empatik (empathetic publik policy) merupakan antitesa dari gambaran kebijakan publik yang saat ini jamak dipahami masyarakat, yaitu kebijakan publik yang dirumuskan dari “menara gading” tanpa adanya keterlibatan dan pendapat dari masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan gambaran tersebut, pengaplikasian rasa empati dalam proses perumusan kebijakan publik dapat memastikan bahwa proses perumusan kebijakan menjadi lebih kolaboratif dengan adanya keterkaitan antara perumus kebijakan dengan masyarakat dan kebijakan yang dihasilkan bersifat inklusif serta terjalin dengan konteks lokal di mana kebijakan tersebut dirumuskan. Bahwa penggunaan istilah kebijakan publik yang empatik dalam tulisan ini untuk menggambarkan sebuah kebijakan publik yang mampu menangkap sinyal-sinyal kondisi “penderitaan” yang tengah dialami oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan publik yang empatik dalam tulisan ini juga digunakan untuk menggambarkan sebuah kebijakan publik yang dirumuskan dan diimplementasikan untuk menanggulangi berbagai “penderitaan” yang tengah dihadapi oleh masyarakat.

 

Coba bayangkan di saat situasi serba sulit, pejabat dan politisi yang seharusnya berkomitmen menanggulangi berbagai “penderitaan” yang tengah dihadapi oleh masyarakat tetapi justru mementingkan diri dengan memunculkan kebijakan yang kontroversial. Contoh, tahun 2022 yang lalu, muncul Peraturan Bupati Bekasi Nomor 196 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bupati Bekasi Nomor 63 tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2022 mengatur besaran tunjangan perumahan untuk Ketua DPRD sebesar Rp 42.800.000,00, Wakil Ketua DPRD sebesar Rp 42.300.000,00, dan Anggota DPRD sebesar Rp 41.800.000,00. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI, 2023) dalam paragraf penjelas mengungkap bahwa sesuai buku inventaris, rumah dinas bagi Pimpinan DPRD (ketua dan tiga wakil ketua) telah disediakan namun rumah tersebut tidak dipergunakan oleh yang bersangkutan sehingga menerima tunjangan perumahan. Selain itu, BPK RI juga mengungkap bahwa terdapat kelemahan dalam metode penentuan besaran tunjangan perumahan sehingga nilai yang dihasilkan tidak sesuai dengan harga wajar sesuai pasaran setempat.

 

Alih-alih membuat kebijakan publik yang senantiasa empatik, kebijakan tersebut bukan kebijakan publik yang empatik, melainkan sembrono, minim partisipasi publik dan tidak peka dengan kondisi yang sedang dialami, dikaitkan dengan masih tingginya jumlah penduduk miskin di kabupaten Bekasi, dan dapat menimbulkan kekesalan publik.(*)

Redaksi