Inspirasi Populer Tajam dan Terkini
IndeksRedaksi

COLLABORATIVE GOVERNANCE: FORUM WARGA PENGELOLAAN SAMPAH JAKARTA DI TPST BANTARGEBANG 

Oleh: Bagong Suyoto Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas).Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI) 5 Agustus 2024.

badarnusantaranews.com|Bekasi –Terus terang mengurus timbulan sampah lebih 10.000 ton/hari sangat sulit. Apalagi hanya ditangani semi-manual, birokrasi dengan manajemen tertutup demi proyek semata, mereduksi partisipasi masyarakat akan menjadi sulit sekali. Hal ini ditambah kompleks dan pelik ketika mengabaikan kebijakan/hukum, pilihan teknologi berkualitas buruk dan aspek lain.

Permasalahan yang menyelimuti pengelolaan sampah Jakarta di TPST Bantargebang dari dulu hingga sekarang tidak kunjung berkurang. Sejak 1989 TPST dioperasikan, tahun 1999 sampai 2004 terjadi pencemaran hebat, tahun 2005 tragedi sampah longsor menelan korban nyawa, Agustus 2008 terjadi kebakaran besar. Justru permasalahan malah bertambah banyak dan ruwet. Sampah yang dikirim ke TPST pun semakin banyak. Sekarang sampah Jakarta dibuang ke TPST sekitar 7.500-5.700 ton/hari, ketika musim banjir mencapai 12.000 ton/hari.

 

Photo/Istimewa.

Timbulan sampah ke TPST Bantargebang terus bertambah. Tahun 2015 rata-rata sebanyak 6.419,14 ton/hari. Tahun 2016 rata-rata sebanyak 6.561,99 ton/hari. Tahun 2017 rata-rata sebanyak 6.875,49 ton/hari. Tahun 2018 rata-rata sebanyak 7.452,60 ton/hari. Tahun 2019 rata-rata sebanyak 7.702,07 ton/hari. Artinya secara faktual terjadi peningkatan sampah dalam kurun 4-5 tahun cukup besar. (Bagong Suyoto, Rmol.id, 6/11/2023).

Per 30 Juli 2024 tumpukan sampah semakin tinggi, 40-50 meter, dua atau tiga zona terjadi beberapa kali longsor (tidak dipublikasikan …?) Bahkan, infrasturktur utama, jalan dan drainase hancur, misal zona III bagian selatan dan timur. Tembok penahan sampah (rubbish retaining wall) mulai retak dan hancur karena tak mampu menahan beban semakin berat ketika hujan.

Hak Lingkungan yang Baik dan Sehat

Warga sekitar TPST Bantargebang yang terdampak apakah diajak membicarakan permasalahan yang dihadapi dalam suatu forum formal? Terutama para tetua kampung, warga asli Kelurahan Cikiwul, Ciketingudik dan Sumurbatu.

 

Beberapa warga asli, yang tingga di Sumurbatu dan Ciketingudik diwawancarai, pada umumnya tidak pernah diajak membicarakan permasalahan pembuangan sampah terbesar di Asean itu. Otoritas TPST. Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi punya manajemen dan metode kerja sendiri. Mungkin karena dianggap, orang kecil, orang bodoh, makanya tidak dianggap, tidak penting.

Mereka diajak omong kalau pemerintah ada maunya, baik pemerintah DKI maupun Kota Bekasi. Seperti tanah pekarangannya mau dibeli atau dibebaskan untuk perluasan lahan TPST. Pastinya warga diminta pindah. Warga dikesampingkan dalam urusan sampah, kecuali Pak RT, Pak RW dan yang punya jabatan.

Pada 28 Juli 2022, Majelis Umum PBB menyetujui resolusi bersejarah, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan. Deklarasi PBB telah mengakhiri perdebatan terhadap pengakuan hak atas lingkungan. Hak asasi manusia tersebut harus dipenuhi oleh negara-negara di seluruh dunia. (PSLH UGM, 4/8/2022).

Menurut  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),  24% dari semua kematian global, sekitar 13,7 juta kematian per tahun, terkait resiko pencemaran lingkungan, seperti polusi udara dan paparan bahan kimia. Wilayah sekitar TPA/TPST terdampak pencemaran udara, air dan tanah, juga kesehatan warga terancam. Oleh karena itu supaya negara-negara meningkatkan upaya dalam memastikan rakyat memiliki akses terhadap lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan; “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Permasalahan apa saja yang ada di tingkat pengambilan kebijakan hingga lapangan? Apakah ada partisipasi masyarakat secara murni, dalam konteks good governance atau environmental good governance dalam public administration? Bukan partisipasi semu (shadow participation). Partisipasi bikinan pemerintah semata, sementara kepentingan rakyat, kepentingan lingkungan berkelanjutan diabaikan.

Persoalan serius yang dipertanyakan segelintir peneliti dan aktivis lingkungan, apakah ada forum warga formal yang mewadahi berbagai stakeholders dari DKI Jakarta dan Kota Bekasi. Forum formal itu yang mengakomodasi berbagai inputs guna perbaikan pengelolaan sampah DKI Jakarta di TPST Bantargebang. Bisa saja namanya: “Forum Warga Pengelolaan Sampah Jakarta di TPST Bantargebang”.

 

Karena uangnya berasal dari rakyat DKI Jakarta, termasuk uang kompensasi sampah, uang bau, uang Bandek, dll. Rakyat Jakarta harus tahu agar pemberian dana kompensasi digunakan tepat sasaran, transparan, akuntabel. Triliunan rupiah tiap tahun digulirkan untuk pengangkutan sampah, operasional pengelolaan TPST Bantargebang, dana kompensasi ke Pemkot Bekasi, dll.

Data dari Dinas LH DKI (Desember 2023) menyebutkan, Dana Kompensasi (Bantuan Keuangan) kepada Pemkot Bekasi pada 2017 sebesar 134.416.992.000 rupiah; Tahun 2018 sebesar 138.549.833.000 rupiah; Tahun 2019 sebesar 353.664.960.000 rupiah; Tahun 2020 sebesar 367.226.865.000 rupiah; Tahun 2021 sebesar 379.519.499.250 rupiah; Tahun 2022 sebesar 365.838.788.250 rupiah; Tahun 2023 sebesar 356.446.480.500 rupiah. Jumlah seluruhnya sebesar 2.095.663.418.00 rupiah. (Bagong Suyoto, Koran Jakarta, 3/7/2024).

Sedang kompensasi tahun 2024 sebesar 371.773.962.000 rupiah. Dengan dasar Perhitungan Dana Kompensasi untuk TA 2024 (Jumlah ton sampah thn 2022: 7.544,88 ton/hari) x (365 hari) x (Rp 25.000/M3) x (4.5 M3 /ton) x 120% = 371.773.962.000 rupiah.

Collaborative Governance: Perlu Forum Warga

Dalam perjanjian Kerjasama antara Pemprov DKI Jakarta dengan Kota Bekasi tentang Pengelolaan TPST Bantargebang tahun 2009, yang ditemukan adanya Badan Pengendali. Badan Pengendali berisi orang-orang unsur Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi. Badan Pengedali dapat meminta bantuan konsultan independent untuk melakukan audit lingkungan dengan biaya dibebankan kepada DKI.

 

Belakangan dibentuk Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) berdasar Perwali Kota Bekasi. Dalam Pasal 14.C PKS tahun 2016 dinyatakan: Tim Monev ditetapkan bersama oleh Para Pihak terdiri dari SKPD/UKPD terkait dengan pelaksanaan pengelohan sampah di TPST Bantargebang Kota Bekasi. Dalam bekerjanya Tim Monev tersebut menggunakan jasa konsultan. Biaya yang diperlukan dalam tugas Tim Monev dibebankan pada dana kompensasi.

Selain itu saluran aspirasi biasanya melalui Musrembang tingkat Kelurahan, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) empat kelurahan. Di sini pun dibentuk Sekber LPM. Forum dan institusi tersebut merupakan bentukan Pemkot Bekasi. Vested interest forum boleh jadi sekadar membicarakan tentang besaran dana kompensasi, cepat cair, dan proyek-proyek yang akan dikerjakan, tidak menekankan pada pentingnya perbaikan pengelolan sampah, pemulihan dan perlindungan lingkungan hidup, dll.

 

Salah seorang yang menyoroti perlunya forum formal sebagai wadah aspirasi berbagai stakeholders dari Jakarta dan Kota Bekasi adalah Selamet Daroini. Ia sedang menyusun thesis tentang “Collaboration Governance Dalam Pengelolaan Sampah Jakarta di TPST Bantargebang Kota Bekasi”, di Universitas Nasional (Unas) Jakarta.

Selamet adalah mantan Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, sekarang sebagai project manager Local Governments for Sustainability (ICLEI), Direktur Urban Justice Institut Indonesia Hijau, Bendahara Umum DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Ia adalah aktivis lingkungan dari organisasi besar, atau non-govermental organizations (NGOs).

Dalam risetnya, beberapa orang pakar jadi nara sumber yang tinggal di Jakarta. Sejumlah lembaga resmi pemerintah, seperti Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, institusi pemerintah lainnya. Saya pun jadi nara sumber, mungkin karena saya bermukim dan melakukan advokasi di Bantargebang.

Selamet mengambil rujukan “Collaborative Governance in Theory and Practice” ditulis Chris Ansell and Alison Gash, University of California, Berkeley. Artikel itu dimuat dalam Journal of Public Administration Research and Theory, diterbitkan oleh Oxford University Press (Nov. 13, 2007).

Secara empirik, pemerintahan versi lama (government) sangat identik dengan kekuasaan, penguasaan, kewenangan, dominasi, pemaksaan, pemusatan, dll. Pemerintah adalah segala-galanya (omnipotent) dan mahakuasa yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat.

Kemudian pada dekade 1990-an awal, muncullah istilah governance yang mendorong para ilmuwan untuk tidak sekadar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga (institusional), melainkan juga pemerintahan sebagai proses multi arah, yaitu proses pemerintah yang melibatkan unsur-unsur di luar pemerintah. Artinya, ada keterlibatan entitas non-state.

Pergeseran dari konsep government ke governance, yang awalnya kebijakan berada ditangan pemerintah secara mulai bergeser. Semangat konsep governance, bahwa pemerintah memberikan ruang kekuasaan kepada rakyat untuk ikut andil dalam menentukan proses kebijakan (Rhodes, 2007).

Sementara itu menurut World Bank dalam Sujarwoto (2013), bahwa terdapat tiga domain dari governance, yaitu state, private sector, civil society yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsi masing-masing. Institusi pemerintahan (state) berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif; sektor swasta (private sector) menciptakan pekerjaan; dan civil society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik (Sujarwoto, 2013).

Ansell dan Gash (2008) mendefinisikan collaborative governance merupakan cara pengelolaan pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan di luar pemerintahan atau negara, berorientasi pada konsensus dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan kolektif, yang bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik serta program-program publik.

Muhammad Noor, Falih Suaedi dan Antun Mardiyanta (2022) mengungkapkan, ini adalah proses di mana pemangku kepentingan yang terlibat dengan semua sektor membuat solusi yang efisien dan efektif untuk masalah publik yang melampaui yang dapat dicapai oleh organisasi mana pun sendirian. Akibatnya, tujuan utama dari proses collaborative governance adalah menghasilkan warga yang lebih terinformasi dan lebih terlibat, peserta yang lebih inklusif dalam pengambilan keputusan, lebih banyak pemangku kepentingan dalam kemitraan masyarakat, metode musyawarah (deliberative) yang lebih baik, dan akuntabilitas dan kepercayaan yang lebih besar kepada pemerintah (Henton et al., 2005).

 

Para pemangku kepentingan berbagi tanggung jawab atas hasil kebijakan karena mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan formal dalam forum lembaga pemerintah (Ansell dan Gash 2008). Ini adalah poin penting, meskipun tanggung jawab pada akhirnya berada di tangan negara.

 

Ansell dan Gash (2008) menerangkan enam komponen dari collaborative governance: (1) Inisiatif dari badan publik; (2) Adanya aktor non-pemerintah; (3) Peserta dilibatkan secara langsung dalam perancangan kebijakan; (4) Forum diselenggarakan secara formal dan secara kolektif; (5) Bertujuan untuk mencapai keputusan berdasarkan mufakat; dan (6) Fokus kerjasama pada kebijakan publik atau pengelolaan program publik.

Collaborative governance mencerminkan kolaborasi yang lebih intens yang menuntut saling ketergantungan di antara para pelaku, pengembangan gagasan bersama, dan terbangunnya sinergi di antara para peserta untuk menemukan solusi baru (Keast & Myrna Mandell, 2014).

 

Dalam perbaikan pengelolaan sampah Jakarta di TPST Bantargebang yang komprehensif dan berkelanjutan dibutuhkan forum warga secara formal. Forum yang dimaksud adalah proses pembentukan muncul dari luar pemerintah, bentuk partisipasi penuh dan murni, kewenangan dan hasil pengambilan keputusannya menjadi bahan masukan pada pemerintah. Pada akhirnya keputusan forum itu harus dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi.* (Red)