Inspirasi Populer Tajam dan Terkini
IndeksRedaksi

Dana Desa Kedung Jaya Tidak Transparan

Oleh : Ismail Satria, Warga Desa Kedungjaya, Bidang Kampanye Antikorupsi DPP LSM BALADAYA

Badarnusantaranews.com-Kabupaten Bekasi- Dana desa merupakan implementasi dari program pemerintahan Presiden Jokowi untuk membangun dari pinggiran. Tujuannya mengurangi jumlah warga miskin, mengurangi kesenjangan antara kota dan desa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran terbuka di perdesaan 3,88 persen pada Agustus 2023 atau lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan yang 6,4 persen. Namun, pada Maret 2023 ada 14,16 juta penduduk miskin di perdesaan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan di perkotaan yang 11,74 juta orang.

Pemerintah Pusat melalui APBN menggelontorkan dana desa yang tidak sedikit.Jumlahnya meningkat dari Rp 20,7 triliun pada 2015 menjadi Rp 47 triliun pada 2016. Kemudian, pada 2024 menjadi Rp 71 triliun, yang akan disalurkan ke 75.265 desa.

Pendapatan Tranfer dari Pemerintah Pusat terkait Dana Desa ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten Bekasi, meningkat.

 

Photo /BN News: Ilustrasi Dana Desa, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi -Jawabarat.TA APBN 2015-2022.

Pada 2015 sebesar Rp 60.185.546.000,00, tahun 2016 naik menjadi Rp 133.572.623.194,00, tahun 2017, naik menjadi Rp 170.420.113.000,00, tahun 2018 naik menjadi Rp 196.713.680,00, tahun 2019 naik menjadi Rp 241.022.957.000,00, tahun 2020 naik menjadi Rp 255.841.111.000,00, tahun 2021 naik menjadi Rp264.329.638.348,00., dan pada tahun 2022 naik menjadi Rp 264.353.007.000,00.

 

Photo/BN News : Dana Desa Transfer APBN Desa Kedung Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi -Jawabarat .TA APBN 2021-2024.

Berdasarkan pemantauan Dana Desa Kedung Jaya kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi Jawa Barat TA 2021 – 2024, menunjukkan bahwa untuk Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp 1. 573.219.000, 00. Tahun anggaran 2022 mendapatkan kenaikan menjadi Rp 1. 642. 147. 000, 00. Tahun anggaran 2023 mendapatkan kenaikan menjadi Rp 2. 171. 972. 000, 00 dan pada tahun 2024, menurun menjadi Rp 1. 953. 185. 000, 00. Secara umum trennya mengalami kenaikan.

Dengan trend kenaikan dana desa yang didapat, kepala desa dan perangkatnya yang tidak mengelola secara baik sesuai dengan ketentuan yang ada maka harus berurusan dengan hukum. Namun jika dikelola secara baik maka desa tersebut dapat memberikan kemanfaatan bagi warga desa baik dari sisi ekonomi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya yang lebih baik.

Dalam kenyataannya, dana desa yang berlimpah tersebut rawan korupsi. Tata kelola dana desa belum sepenuhnya bebas dari korupsi. Tren korupsi kian meningkat dari tahun ke tahun. Praktek korupsi perangkat desa menempati urutan ketiga tertinggi setelah ASN dan swasta. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak tahun 2015-2020 sebanyak 676 terdakwa kasus korupsi berasal dari perangkat desa. Semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi. Dari segi pelaku, kepala desa adalah yang terbanyak menjadi pelaku korupsi. Area yang rawan antara lain saat perencanaan dan pencairan.

Penyebab korupsi dana desa adalah karena minimnya kompetensi aparat desa, tidak adanya transparansi dan kurangnya pengawasan pemerintah dan masyarakat serta adanya intervensi atasan dalam pelaksanaan kegiatan fisik yang tak sesuai perencanaan.

Hal yang menjadi pehatian publik dari Dana Desa ini adalah aspek keterbukaan (transparansi) oleh Pemerintah Desa yang belum dilaksanakan. Pemuda Kedungjaya pun juga sudah mulai mendorong transparansi dana desa, dan menanyakan kelanjutan dari pembangunan stadion mini Kedungjaya. Jika tidak transparan maka dapat memicu pelaporan ke pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.

Secara institusional, pemerintah desa merupakan badan publik yang wajib memberikan informasi yang ada dalam penguasaannya kepada publik/ masyarakat setiap saat terkecuali, informasi yang memang dikecualikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu informasi yang dikelola oleh pemerintah desa adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang bukan merupakan informasi yang dikecualikan sehingga wajib untuk diinformasikan kepada masyarakat.

Kewajiban pemerintah desa sebagai badan publik ini diatur Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi: daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; serta Pasal 52 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa “Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/ atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/ atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 ( lima juta rupiah)”.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah harus tunduk dan patuh tidak hanya pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku melainkan juga pada AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik). Dalam AAUPB, salah satu asas yang wajib dipatuhi adalah asas keterbukaan yang dalam bahasa yang umum disebut sebagai transparansi. AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) dalam penyelenggaraan pemerintahan secara umum dapat kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi serta Nepotisme (vide pasal 3) dan Undang–undang Nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (vide pasal 10). Dengan dilaksanakannya asas umum ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.

Kepatuhan terhadap AAUPB, dalam hal ini asas keterbukaan pun berlaku pada pemerintahan paling bawah yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, sehingga kepala desa dan perangkatnya tidak bisa bertindak sewenang-wenang atau setidak-tidaknya abuse of power, sebab asas ini ditegaskan secara jelas pasal 24 huruf d UU 6/2014 Tentang Desa. Lalu bagaimana bentuk implementasi asas keterbukaan ini? Bentuknya melalui publikasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) oleh pemerintah desa.

Publikasi ini, merupakan manifestasi yuridis atas penyelenggaraan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien. Sehingga, publikasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dimaknai sebagai wujud dari bentuk transparansi oleh pemerintah desa sekaligus hak konstitusional warga desa yang dijamin oleh undang-undang.

Dalam berbagai ketentuan, kewajiban transparansi ini secara konstitusional dilakukan terhadap dua pihak yakni masyarakat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tak terlepas dari kewajiban serupa oleh pemerintah desa kepada kepala daerah dan/ atau institusi negara lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat, dalam bentuk transparansi tersebut dilakukan secara tertulis melalui penggunaan media informasi papan pengumuman dan/ atau baliho, radio komunikasi dan media informasi lainnya (vide pasal 26 ayat (4) huruf f dan p, pasal 27, pasal 82 UU 6/2014 Tentang Desa jo pasal 52 PP 43/2014 Tentang Desa sebagimana diubah dengan PP 47/2015 jo pasal 2 ayat (1) dan pasal 40 Permendagri 113/2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa jo pasal 10 dan pasal 11 Permendagri 46/2016 Tentang Laporan Kepala Desa). Sedangkan untuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilakukan menggunakan mekanisme Laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan Desa akhir tahun yang disampaikan oleh Kepala Desa 3 (tiga) bulan setelah berakhir tahun anggaran (pasal 27 dan pasal 55 UU 6/2014 Tentang Desa jo pasal 48 dan pasal 51 PP 43/2014 Tentang Desa sebagaimana diubah dengan PP 47/2015 jo pasal 8 Permendagri 46/2016 Tentang Laporan Kepala Desa). Apabila kepala desa tidak melaksanakan kewajiban hukum tersebut di atas, maka yang bersangkutan diberikan sanksi kategori ringan seperti sanksi administratif berupa teguran dan sanksi kategori berat berupa pemberhentian sementara dan pemberhentian permanen.

 

Keputusan DPR yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 akan berdampak pada masa jabatan kepala desa yang semula 6 tahun menjadi 8 tahun. Dampak lain adalah jumlah dana desa yang bertambah.

Sebagian orang mengkhawatirkan perpanjangan masa jabatan yang berisiko kepala desa merasa memiliki kewenangan besar. Risiko ini bisa ditekan jika kontrol masyarakat kuat. Adapun dana desa yang bertambah dikhawatirkan tak diiringi tata kelola yang baik dan transparan. Risikonya, dana desa bisa disalahgunakan.

Oleh karena itu kewajiban normatif tentang kewajiban transparansi oleh pemerintah desa, Kedung jaya harus dipandang sebagai landasan dalam menciptakan tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Kewajiban hukum yang diatur dalam berbagai regulasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan hukum semata, seolah kewajiban hukum telah berubah menjadi “tidak-wajib” hukum, artinya dilakukan baik dan kalaupun tidak juga tidak masalah. Oleh karenanya, paradigma ini harus dirubah semua para pemangku kepentingan (stakeholder) terutama para kepala desa dan perangkatnya harus berkomitmen dan konsisten melaksanakan kewajiban hukumnya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang transparan, karena itu merupakan hak konstitusional masyarakat desa yang tidak bisa dilanggar. (Red & Tim)