badarnusantaranews.com-Jakarta-Mulai membuat mekanisme khusus yang memastikan perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau manfaat dari suatu tindak pidana hingga memastikan kepatuhan hukumnya.
bahwa tak jarang korporasi yang berbuat tindak pidana korporasi, tapi malah pengurus seperti direktur yang dipenjara. Hal ini seperti yang dialami PT KPPS yang diwakili oleh pengurusnya berinisial WBD.
Dalam Putusan MA No. 1405/K/Pid.Sus/2013, PT KPPS yang diwakili WBD terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa izin melakukan dumping limbah ke media lingkungan”. Atas perbuatannya tersebut, WBD pun dipidana penjara 10 tahun dan PT KPPS dipidana denda sebesar Rp500 juta.
“Tindak pidana korporasi, tidak hanya mengancam perusahaan, tidak hanya direksi, bahkan orang biasa di level low perusahaan juga bisa kena,” kata Joni.
Menurut Joni, ada cara yang harus dilakukan perusahaan dalam pembuktian korporasi jika terjadi persoalan hukum. Pertama, biasanya penyidik punya audit, perusahaan pun harus membuat audit tandingan, untuk meng-counter audit yang dilakukan penyidik. “Bisa melalui audit forensik, kami akan cari ahli yang mantan petinggi BPKP/BPK,” katanya.
Kemudian, lanjut Pahrur, bisa melalui peraturan internal yang sudah firm dan tidak ada potensi dipermasalahkan. “Sudah ada Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tentang Business Judgment Rule, intinya menurut MK alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum itu tidak ada nilai pembuktiannya. Ini penting karena semua APH (aparat penegak hukum) banyak juga saat dilakukan pemberkasan setelah P21 sehingga potensi nilai pembuktiannya diperoleh secara melawan hukum. Mitigasi sangat penting agar kasus tindak pidana korporasi tidak terjadi,” katanya.
Mulai membuat mekanisme khusus yang memastikan perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau manfaat dari suatu tindak pidana hingga memastikan kepatuhan hukumnya.
Di tempat yang sama, Joni Sudarso,S.H.,M.H mengatakan, jika ada masalah hukum, perusahaan, bahkan direksi maupun in house counsel hingga lawyer yang membela harus paham asas-asas dan teori. Dalam membela, lawyer harus bisa menyusun arah pembelaan, menguasai arah klien dan terampil membelanya.
Dalam menyusun arah pembelaan ada empat tesis besar dalam hukum. Pertama adalah fakta yang mencerminkan benar melakukan atau tidak melakukan tindak pidana. Kejujuran menjadi penting dalam tahap ini. Kedua, memahami unsur-unsur pasal yang dipersiapkan baik secara konsep atau definisi. Apakah unsur-unsur pasal tersebut diterapkan benar atau tidak.
Ketiga, maksud atau niat dalam melaksanakan tindakan kegiatan maupun aksi korporasi yang berujung tindak pidana korporasi. Harus dicek apakah terdapat alasan pembenar atau pemaaf dalam aksi tersebut. Keempat, prosedur yang dilakukan harus sudah sesuai yang berlaku sehingga minim tidak terjadi permasalahan di kemudian hari.
“Misalnya, A pukul B, apakah benar terjadi pemukulan, unsur-unsur pasalnya apakah sudah betul, dan apakah ada niat buruk di dalamnya misal apakah B pukul duluan, ada niat untuk B mencelakai kepada si A dan seterusnya,” kata Joni.
Ia mengusulkan agar korporasi membuat semacam policy atau kebijakan soal prinsip-prinsip perusahaan, yang memastikan perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau manfaat dari suatu tindak pidana baik penipuan, penggelapan hingga suap menyuap. Perusahaan maupun pengurusnya, jangan pernah melakukan suatu tindak pidana untuk kepentingan korporasi/perusahaan.
Kemudian, buat aturan perusahaan yang melarang seluruh karyawan ataupun organ perusahaan untuk melakukan tindak pidana apapun atas dan untuk nama perusahaan. Bila diketahui ada tindakan pidana yang dilakukan untuk kepentingan perusahaan maka segera dihentikan. Selanjutnya, perusahaan membuat aturan atau langkah-langkah lain yang dianggap baik dan perlu guna mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. “Hal ini penting agar supaya korporasi tidak ditarik-tarik dengan tindak pidana korporasi,” tutup Joni.
(Red/Dian S)