Oleh ;Bagong Suyoto Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Nasional (YPLHPI)
badarnusantaranews.com|Kabupaten Bekasi –Apa bedanya antara tempat pembuangan akhir (TPA) sampah open dumping dan TPA/TPS liar? Keduanya merusak fungsi-fungsi lingkungan hidup, merusak keindahan alam, merendahkan harkat martabat manusia, mengancam kesehatan masyarakat dan memunahkan makhluk lain dan biota air. TPA open dumping dan TPA illegal, keduanya melanggar peraturan perundangan dan menciptakan Malapetaka Sampah.
TPA open dumping dan TPA/TPS illegal melanggar UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan perundangan terkait. Di dalam UU tersebut terdapat klausul-klausul pelarangan dan sanksi hukum baik pidana maupun perdata.
TPA open dumping dan TPA/TPS liar merupakan bentuk aktivitas manusia dari bagian “kejahatan lingkungan”. Istilah “kejahatan lingkungan terstruktur” muncul Ketika Ditjen Gakkum dan Direktorat Pengelolaan Sampah Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengadakan konferensi pers pada 1 Maret 2022. Hal ini berkaitan dengan lima pengelola TPA illegal, 2 orang dari Tambun Selatan dan 3 orang di Kedaung Kota Tangerang yang dijadikan tersangka dengan ancaman penjara 15 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar.
Mereka melanggar Pasal 98 dan/atau Pasal 99 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mereka melakukan aktivitas mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (Larangan, Pasal 29 UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah).
Pasal 98 UUPPLH menyatakan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampuinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kreteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99 UUPPLH menyatakan: (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibat dilampuinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kreteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Menurut Novrizal Tahar Direktur Pengelolaan sampah KLHK, bahwa mereka dikenakan intrumen hukum pidana agar mereka jera dan memberi efek yang lebih luas. Merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk menghentikan penyebaran TPA illegal. Agar masyarakat mengelola sampah secara baik dan benar atau berawasan lingkungan.
Motif kegiatan TPA sampah illegal adalah finansial, menerima pembayaran, ada kutipan. Rasio Ridho Sani Ditjen Gakkum KLHK mengatakan, akan mendalami kejahatan terstruktur TPA illegal, ada pihak-pihak yang terlibat. Gakkum akan telus melakukan pengejaran terhadap pihak-pihak terkait.
Tetapi, mengapa dan bagaimana TPA open dumping dan TPA atau TPS ilegal tumbuh sumbur di Indonesia? Apa yang salah dengan sistem ketatanegaraan dan tata kelola sampah kita? Apa yang salah dengan cara berpikir, perilaku kolektif dan budaya Indonesia? Boleh jadi ada yang tidak beres! Salah satu adalah iklim pemerintah yang buruk sebagai penyebab utama. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), suap dan gratifikasi menempel di hampir semua sub-sistem, termasuk sub-sitem pengelolaan sampah.
Selama bulan November 2024 Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup DR, Hanif Faisol Nurofiq gerah dan menyegel sejumlah TPA open dumping dan TPA/TPS liar, seperti TPS liar di Limo Depok, TPS liar Klanunggal Bogor, TAP liar di Serang, dan tempat lain. Pada 1 Desember 2024 menyegel TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi. Ada sejumlah TPA open dumping dan TPS liar yang sedang dibidik Menteri LH.
Dalam Pasal 29 UU No. 18/2008 pada ayat (1) setiap orang dilarang, poin e membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan; poin f; melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir.
Indonesia sudah memiliki regulasi pengelolaan sampah, yakni UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Bab XVI Ketentuan Peralihan, Pasal 44 menyatakan: (1) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Ayat (2) menyatakan: Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhintung sejak berlakukanya Undang-Undang ini.
Sejak UU No. 18/2008 disahkan pada 7 Maret 2008 hinga sekarang sudah berumur 16 tahun, tetapi faktanya ratusan, atau mayoritas TPA sampah di Indonesia masih dikelola dengan sistem open dumping. Juga semakin banyak bermunculan TPA illegal, merupakan indikasi nyata adanya kegagalan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Ada satu kabupaten di wilayah Jabodetabek mempunyai puluhan hingga ratusan TPA/TPS illegal, sungguh sangat luar biasa. Merupakan bentuk kebobrokan dan malapetaka tata kelola sampah.
Mengapa dan bagaimana malapetaka sampah melanda di sejumlah daerah di Indonesia sekarang ini? Sepertinya deadlock! Misalnya kasus persampahan di Tangerang Selatan, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Bali, Pemalang, Pekalongan, dll. Saya menulis buku berjudul “Malapetaka Sampah – Kasus TPA Bantargebang, Kasus TPA/IPLT Sumurbatu dan TPST Bojong” yang diterbitkan pada November 2004. Sekarang benar-benar menjadi kenyataan pahit.
Ketika itu saya punya prediksi tentang masa depan pengelolaan sampah kurang bagus di Indonesia, saat itu pemerintah sedang giat-giatnya melakukan rapat-rapat, diskusi, seminar, workshop dan pertemuan-pertemuan guna menyusun draft akademik RUU tentang Pengelolaan Sampah. Sejumlah lembaga non-pemerintah meminta pemerintah dan DPR RI mempercepat pengesahan RUU tersebut menjadi UU.
Buku “Malapetaka Sampah”, kemarin pada 2 Desember 2024 saya serahkan kepada Pak Menteri LH/Kepala BPL DR. Hanif Faisol Nurofiq di ruang rapat Menteri, Kebon Nanas Jakarta. Hal ini berkaitan undangan Menteri LH untuk memberi masukan dalam penyiapan bahan baku daur ulang. Saya sangat berharap, Menteri mau membaca buku ini dan kumpulan tulisan yang saya sampaikan ketika Menteri LH mengunjugi di TPST Bantargebang bulan lalu.
Kelola Sampah di Sumber
Lahirnya UU No. 18/2008 dan aturan turunannya diharapkan dapat menyelesaikan carut marut pengelolaan sampah. Kemarin (2/12/2024) di kantor KLH saya berempat berdiskusi dengan Pak Tri Bangun Laksono, lebih akrab di panggil Mas Sony, mantan Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Limbah Dometik dan Usaha Skala Kecil dan Menengah KLH. Ini zamannya Menteri Negara LH Pak Rachmad Witoelar.
Ketika akan mengirim Amanat Presiden (Ampres) RUU Pengelolaan Sampah ke DPR RI, Menneg LH ketika meminta pada Mas Sony, membuat statement politik yang singkat dan cocok untuk pengantar RUU tersebut. Karena Menneg LH saat itu diminta oleh Presiden SBY. “Jangan lama-lama, semenit”, pinta Pak Rachmat. “Sehari Pak, saya mikir dulu …”, jawab Mas Sony.
Kemudian setelah Mas Sony berpikir keras dan meminta pendapat sejumlah pakar dan kawan, muncul kalimat. “Olah sampah sedekat-dekatnya dengan sumber”. Bisa djuga dengan kalimat: Kelola Sampah dari Sumpur sampai TPA. Karena istilah TPA dalam UU No. 18/2008 adalah dikatakan sebagai “Tempat Pemrosesan Akhir”. Jadi, kalimat “Olah sampah sedekat-dekatnya dengan sumber” merupakan intisari dari UU No. 18/2008. Sampah harus dikelola sedekat-dekatnya dari sumber, dengan multi-teknologi, melibatkan partisipasi masyarakat dan komunitas.
Apa yang terjadi sekarang dengan pengelolaan sampah kita, masih menggunakan pendekatan lama: Kumpul-Angkut-Buang. Andalanya TPA. Semua sampah dibawa dan dibuang ke TPA. Ini sangat berbahaya dan merupakan bentuk kegagalan terbesar sejak adanya UU No. 18/2008.
Conoth, sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang semakin banyak. Dulu tahun 2008/2009 sekitar 4.000-5.000 ton/hari, tahun 2009/2010 naik menjadi 6.000 ton/hari, naik lagi menjadi 8.000 ton sehari pada 2024. Apa artinya dengan angka-angka tersebut, menunjukkan kegagalan pengelolaan sampah yang tak terbantahkan. Hal ini terjadi di hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Pengelolaan sampah di Indonesia berada di persimpangan jalan (crossroad) dan malapetka sampah semakin besar. Apa sebenarnya yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota selama ini? Timbul berbagai pertanyaan besar? Sehingga pantaslah Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq mempertanyakan, apa yang salah dengan diri kita. Dan, menjadi sangat esensial melakukan evaluasi nasional pengelolaan sampah kita.
Menurut Mas Sony sudah terjadi salah arah dari inti UU No. 18/2008. Maka sebaiknya kembali pada isi dan mandat UU tersebut. Sebetulnya, ini semacam introspeksi, refleksi mendalam berkaitan dengan aktivitas-aktivitas dalam menangani sampah selama 16 tahun dan untuk penentuan jalan ke depan.
Keberhasilan pengelolaan sampah membutuhkan iklim good governance, fokus, prioritas, kenekadan dan punya rasa nasionalisme yang tinggi. Jika tidak hanyalah; “omon-omon”, kata Presiden Prabowo Subianto. Rasanya sangat malu dikatakan “omon-omon”.
Pengelolaan sampah yang sukses ketika sampah dibuang ke TPA semestinya semakin menurun tiap tahunnya. Mungkin penurunanya 20%, 30%, 50%, 60% hingga 70%. Jika sampah yang dibuang ke TPA hanya 30% dan inipun sebagian merupakan sisa-sisa yang tidak memiliki nilai ekonomis.
Kelola sampah dari sumber harus menjadi “Gerakan Masyarakat”. Gerakan Masyarakat ini harus melibatkan semua komponen tanpa kecuali. Tujuan gerakan tersebut untuk menyelamatan Indonesia dari Malapetaka Sampah!* 5/12/2024
(Red)