badarnusantaranews.com|Kab.Bekasi-Bagaikan sinetron kejar tayang, paripurna terus bergulir memasuki episode demi episode. Kita ketahui bahwa pada Desember 2023, pemerintah daerah kabupaten Bekasi mengajukan sejumlah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) untuk menjadi agenda dalam program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2024 (Info Daerah.com). Nampak aktivitas legislasi tiba-tiba meningkat pesat di akhir masa jabatan eksekutif dan legislator Deltamas. Penulis pernah gundah sulit mengakses draft naskah akademiknya, baik naskah akademik Raperda Perubahan atas Perda No.12 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi maupun naskah akademik Raperda RPJPD Kabupaten Bekasi tahun 2025-2045.
Idealnya pembentukan Perda, mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan dilakukan secara transparan kepada publik, sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang luas untuk memberikan masukan dan partisipasi secara langsung (direct participation). Asas keterbukaan merupakan kunci legitimasi dalam menentukan kualitas substansi sebuah rancangan undang-undang. Eksistensi masyarakat sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Seorang Ahli Filsafat Amerika, Noam Chomsky, (Romanus, 2021) menguraikan bahwa demokrasi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk menemukan dan memperluas sifat dasar dan hak asasi manusia yang fundamental. Sebab, demokrasi berakar pada kebebasan, solidaritas, pilihan kerja dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam tatanan sosial, sehingga produk utama dari masyarakat demokratis adalah manusia sejati. Sebuah masyarakat dikatakan demokratis bilamana rakyat memiliki kebebasan dan bisa berpartisipasi penuh untuk mengatur dan menyusun kebijakan publik. Masyarakat yang demokratis juga memiliki alat-alat informasi bersifat terbuka dan bebas. Semua itu didasarkan pada kodrat manusia sebagai makhluk yang bebas dan setara satu dengan yang lain.
Demokrasi juga merupakan supremasi warganegara, sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum, yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik. Hal itu diratifikasi dalam system perundang-undangan kita. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan pembentukan undang-undang harus menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama. Pun demikian dalam pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Undang-Undang tersebut juga mengharuskan dalam merencanakan pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan maka harus memperhatikan latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan jangkauan pengaturannya. Penelaahan tersebut juga terdapat dalam tahapan penyusunan melalui naskah akademik yang memuat alasan filosofis, yuridis dan empiris yang kemudian akan diharmonisasikan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang (Purawan, 2014). Pasal 65 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, juga mengamanatkan adanya partisipasi masyarakat.
Akan tetapi, ketika sebuah negara menerapkan demokrasi sebagai sistem politik namun praktiknya bertolak belakang dengan prinsip demokrasi, maka bagi Noam Chomsky (Romanus, 2021) demokrasi telah cacat. Cacat tatkala sistem dan lembaga demokrasi dikontrol dan dikuasai oleh pemerintah yang secara perlahan mematikan dan menghilangkan substansi dan esensi demokrasi. Demokrasi yang cacat juga disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah intervensi komunitas bisnis dan korporasi dalam menentukan kebijakan publik, media massa dan kaum intelektual yang bungkam dan tunduk pada rezim penguasa. Realita ini membuat Chomsky menggaungkan agar tanggung jawab intelektual harus dikembalikan untuk melakukan perubahan sosial dengan bersandar pada nilai moral demi menegakkan prinsip demokrasi sehingga tidak cacat. Noam Chomsky dalam bukunya Secret, Lies, and Democracy (lihat Katjasungkana, 1997) mungkin dapat membantu analisis berikut. Chomsky memandang AS sebagai negara yang sangat tidak demokratis di dalam negeri. Di AS memang ada pemilu berkala, recall, referendum, dan partai-partai bebas. Namun, keterlibatan publik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sangat marginal. Berbagai pergeseran dalam kebijakan publik merupakan akibat dari kepentingan berbagai kelompok bisnis yang berbeda-beda. Kekuasaan yang sebenarnya terletak di tangan investor, pemilik perusahaan, dan bank.
Safra (dalam “Demokrasi Berbasis Korupsi, 2004) menulis bahwa di daerah, demokrasi juga masih belum menjadi alat perbaikan kesejahteraan rakyat. Pemilihan kepala daerah, alokasi APBD, adalah dua hal rawan yang memiliki bobot untuk dikorupsi melalui proses demokrasi. Hal yang demikian biasanya terjadi antara pengusaha, anggota parlemen, dan eksekutif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya dalam suatu studi mengenai korupsi di DPR RI menengarai bahwa korupsi di lembaga legislatif tidak hanya terjadi pada fungsi anggaran dan pengawasan, namun terjadi pula dalam fungsi legislasi (kpk.go.id, 1/10/2022).
Lebih lanjut Safra (dalam “Demokrasi Berbasis Korupsi, 2004) menguraikan bahwa implementasi demokrasi berbasis korupsi berdampak sangat luar biasa dalam menjatuhkan kualitas kehidupan rakyat. Mengapa bisa terjadi? Hal ini dapat dikaitkan dengan dua grand theory yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama dan Samuel Hutington (Christianto Wibisono, dalam Safra, 2004). Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man mengemukakan bahwa sistem demokrasi Barat adalah model yang dapat ditiru oleh umat manusia bahwa penyelesaian konflik politik dilakukan tanpa kekerasan. Sedangkan Samuel Hutington dalam bukunya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order menyatakan bahwa akan ada konflik dahsyat. Hutington sendiri tidak memercayai bahwa teori Fukuyama akan diterima. Jika dalam teori Hutington disebutkan adanya perseteruan peradaban, maka di Indonesia perseteruan tersebut terjadi antara mereka yang bermental status quo, korup beserta pengikutnya dengan mereka (Misalnya aktivis/wartawan antikorupsi dan kaum intelektual yang menjadi pemikir, penyusun strategi dan perencana kebijakan publik yang berorientasi nilai moral dan menegakkan keadilan) yang ingin meluruskan berbagai penyimpangan.
Kembali pada soal meningkatnya aktivitas legislasi di kabupaten Bekasi di masa transisi, oleh karena memasuki tahun politik 2024, sehingga dalam pembentukan Raperda di kabupaten Bekasi, rawan terjadinya praktik korupsi legislasi. Apalagi jika ada pembangunan yang terkesan “bangun proyek dulu, landasan hukumnya menyusul kemudian” hanya akan jadi panggung dramaturgi politik ekonomi para pengusaha hitam dan pemangku otoritas hitam. Itulah salah satu sisi buruk drama kejar tayang jika dilakukan. Penyakit lama bangsa, sistem secara sengaja ditundukkan dan dimandulkan perselingkuhan abadi para pengusaha hitam dan penguasa hitam. Mereka berkolaborasi dalam mengamankan proyek pembangunan. Politik lantas disulap menjadi alat ampuh pengendalian bahkan manipulasi. Jika tak ada ”obat” yang tepat, maka bukan mustahil akan membuat kabupaten Bekasi ini semakin sakit. Untuk mengatasinya, butuh partisipasi dan kedewasaaan semua kekuatan para pemilik kapital, birokrat dan politisi agar mereka memainkan perannya dengan menyandarkan pada aturan main yang kuat dan tegas. Penghormatan atas aturan itulah yang menjadi kesejatian manusia berakhlak! *** (red)