Inspirasi Populer Tajam dan Terkini
IndeksRedaksi

PENCEMARAN UDARA TPST BANTARGEBANG ANCAM WARGA DAN KELOMPOK RENTAN

Oleh ; Bagong SuyotoKetua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Yayasan Kajian Sampah Nasional (YKSN).

badarnusantaranews.com| Kota Bekasi -Untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat dan berkelanjutan, termasuk udara bersih harus perjuangan. Meskipun hak warga negara tersebut dijamin UUD 1935 dan peraturan perundang. Setidaknya harus ada warga, komunitas, masyarakat yang bersuara keras.

 

Pada tulisan ini saya sajikan materi disampaikan dalam diskusi publik tentang “Pencemaran Udara pada TPST Bantargebang dan Upaya Pemenuhan Hak Kesehatan Kelompok Rentan Ibu dan Anak” pada Sabtu, 14 Desember 2024. Diskusi onlie disenggarakan oleh Centre of Indonesian Medical Students’ Activities Universitas Indonesia (CIMSA UI).

Nara sumber diskusi: Abdul Ghofar Pollution and Urban Justice Campaign Manager Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Public Policy Advocacy Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Bagong Suyoto Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Muhammad Rajif Kepala Divisi Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta (UPTS SLH DKI).

Perlu diketahui, bahwa di wilayah Kecamatan Bantargebang terdapat dua pembuangan sampah. Pertama, TPST Bantargebang merupakan pembuangan sampah terbesar di Indonesia dan Asean. Timbulan sampah selama 35 tahun mencapai 55 jutan ton dan ditambah sekitar 8.000 ton setiap hari. Selain itu, di sebelahnya ada TPA Sumurbatu milik Pemerintah Kota Bekasi.

Luas TPST Bantargebang 108 menjadi 110,2 hektar (meliputi wilayah Kelurahan Cikiwul, Ciketingudik dan Sumurbatu). TPST dioperasikan tahun 1989 milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sampah yang dikirim ke TPST hampir 8.000 ton/hari, ketika banjir mencapai 12.000 ton/hari. Punya berbagai teknologi pengolahan sampah, tingkat reduksi 15-20%. Pengolahan leachate kurang baik belakangan akibat IPAS yang beroperasional tinggal 1 IPAS. Lainnya terurug sampah, perlu segera diperbaiki. Akibantnya Sebagian iar lindi bercampur air hujan masuk ke Kali Ciketing dan Kali Asem.

Jumlah pemulung 7.000 – 8.000 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Muncul gubuk-gubuk kumuh dan bacin di aera tercemar. Ukuran gubuk-gubuk sangat kecil, tanpa ventelasi dan sanitasi sangat buruk.

Selanjutnya TPA Sumurbatu, luas 21 hektar. Sampah yang dibuang dari seluruh wilayah Kota Bekasi sekitar 1.500 ton/hari. TPA tersebut jadi andalan, karena masih menggunakan pendekatan lama: KUMPUL-ANGKUT-BUANG. Sampah yang dibuang ke TPA belum terilah. Sampah di TPA hanya ditumpuk dan ditumpuk (pengolahan relatif tidak ada) didominasi sampah plastik. Sampah di TPA sering longsor ketika musim hujan, dan longsornya menimbun ratusan makam warga. Air lindi belum terkelola dengan baik dan mengalir ke Kali Ciketing dan Kali Asem semakin banyak. Ketika musim kemarau terjadi kebakaran. Dampak pencemaran lingkungan dan acaman kesehatan semakin besar.

 

Sumber pencemaran udara di wilayah tersebut berasal dari: (1) Debu dan dan asap operasional TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu. (2) Asap kebakaran sampah TPST/TPA. (3) Gas-gas sampah organik, seperti gas metana (CH4), CO2, dll. (4) Pembakaran sampah dari gubuk-gubuk pemulung. (5) Pembakaran sampah dari pelapak, berupa kasur, dan jenis lain yang diambil logam/besinya. (6) Pabrik proses biji plastik atau daur ulang.

Contoh sampah TPST Bantargebang terbakar sangat dasyiat selama berhari-hari pada 2008 dan terjadi pada tahun-tahun berikut, terakhir pada 2023. Permasalahanya mayoritas sampah plastik dan bahan mudah terbakar, tidak dirapikan dan di-cover-soil sesuai standar. TPST/TPA yang dikelola secara open dumping akan mudah terbakar di musim kemarau. Kejadian kebakaran akan berulang.

Kegiatan TPST Bantargebang menyebabkan debu dan gas buang dari 1.300 truk sampah dan belasan alat berat selama 24 jam menimbulkan udara semakin kotor dan beracun. Udara kotor menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (IPAS), penyakit flek dan radang paru-paru. Biasanya ISPA berupa infeksi virus umum yang mempengaruhi hidung, tenggorokan dan saluran udara.

Mengapa pemulung membakar? Alasannya membersihkan/melenyapkan residu sampah bekas sortir. Untuk mengendalikan nyamuk. Pemulung tak tahu bahaya membakar sampah dan tak tahu melanggar UU.

Sumber pencemaran udara berasal dari belasan pabrik biji plastic/daur ulang dan incinerator Merah Putih di dalam dan sekitar TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu. Wilayah tersebut pernah dikategorikan sebagai sumber pencemaran udara yang tinggi oleh KLHK. Sejumlah pabrik biji plastic disegel oleh Satuan Tugas Pengendalian Pencemaran Udara dan Gakkum KLHK tahun 2023 lalu.

Dampak Pencemaran Udara

Asap hasil pembakaran sampah mengandung bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mengakibatkan polusi udara. Asap dari membakar sampah jenis apa pun, baik plastik, kayu, kertas, daun, maupun kaca, melepaskan banyak polutan beracun, yakni karbonmonoksida, formaldehida, arsenik, dioksin, furan, dan VOC (senyawa organik volatil).

Pebakaran sampah, terutama plastik berkontribusi buruk, yakni munculnya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Gas-gas sampah dari gas metana (CH4) memilik dampak sangat besar. Gas metana daampaknya mengimisi sebanyak 21 kali lipat CO2.

Paparan gas metana terhadap ozon dan polusi partikulat merusak saluran pernapasan, memperburuk penyakit paru-paru, menyebabkan serangan asma, meningkatkan angka kelahiran prematur, morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, dan meningkatkan risiko stroke. (Parampuan, 4/10/2023).

Sejumlah pakar kesehatan menyebutkan dampak beberapa gas beracun akibat pembakarn sampah plastik. Nitrogen oksida (NOx), dapat membentuk asap fotokimia berwarna kuning kecoklatan. Dampaknya mengganggu jarak pandang, kemampuan bernafas, kualitas air, hujan asam dan suhu bumi.

Sulfur dioksida (SOx), merupakan gas beracun tidak berwarna dan berbau menyengat. Dampaknya dapat mengiritasi sistem pernafasan, terutama orang yang sensitif, seperti anak-anak, lansia dan penderita asma. Juga berkontribusi hujan asam dan meningkatkan keasaman tanah dan air permukaan.
Sedangkan, bahan kimia organik yang mudah menguap (VOC). VOC memiliki titik didih rendah dan berasal dari berbagai sumber, seperti kendaraan, industri dan pembakaran fosil. VOC dapat timbulkan masalah kesehatan serius baik jangka pendek dan panjang. Dampak terhadap kesehatan: iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, sakit kepala, pernafasan, kanker dan kerusakan ginjal.
Bahan organik polisiklik (POM) adalah senyawa organik terbentuk dari pembakaran bahan organik, seperti batu bara, minyak, gas, sampah, kayu dan makanan. Dampaknya toksit terhadap manusia dan organisme perairan. Dampak terhadap manusia pada kehamilan dikaitkan dengan resiko, seperti kelahiran premature, berat badan lahir rendah dan resiko asma anak yang lebih tinggi.

Selanjutnya dioksin, merupakan hidrokarbon terklorinasi yang mengandung struktur dibenzo-p-dioksin. Dampaknya efek buruk pada tubuh, seperti meningkatkan resiko kanker jaringan lunak, kanker jaringan limfatik dan pembesaran ganas kelenjar getah bening,penyakit limpa dan hati serta kegemukan berlebihan hingga obesitas. Dan, Benzo(a)pyrene (BAP) dan polyaromatic hydrocarbons (PAHs), yang keduanya telah terbukti menyebabkan kanker.

Hak Penuhan Udara Bersih

Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 jo Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan membakar sampah berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dilarang dan melanggar UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Negara wajib melayani warga negaranya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat dan berkelanjutan. Jika tidak dipenuhi bisa mengajukan gugatan. Berikut pandangan Komisioner Komnas HAM Sandara Moniaga. Konteks tersebut banyak dibahas pembicara dari WALHI dan PBHI.

“Kalau ditelusuri lebih jauh dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, itu diatur juga bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia. Apa artinya? Yang pertama, negara sebagai pemangku kewajiban harus memastikan bahwa setiap orang itu betul dipenuhi, dilindungi dan dihormati haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan kedua, pemaknaan lingkungan yang baik itu adalah lingkungan yang sehat” jelas Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga dalam pemberian pendapat atas perkara tertentu di peradilan (amicus curiae) secara daring oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/1/21).

Amicus curiae atas perkara Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst membahas mengenai hak atas lingkungan, khususnya udara yang bersih dan sehat. Fokus pemberian pendapat ini mengenai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara cq. Pemerintah terkait pengabaian terhadap pemenuhan hak atas udara yang bersih untuk warga Negara cq. warga DKI Jakarta. Penggugat dalam perkara ini, yakni Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota yang digagas oleh Melanie Subono, Asfinawati,Inayah W.D dan lain-lain. Amicus curiae ini didukung data dan kajian oleh Analis Pelanggaran HAM Arief Rahman Tamrin dan Peneliti Komnas HAM RI Agus Suntoro. (Komnas Ham RI, 21/1/2021).

Ia kemudian merujuk dokumen Pelapor Khusus PBB untuk HAM dan Lingkungan Hidup John H. Knox (2012- 2018) terkait hak warga negara untuk mendapatkan informasi kondisi dan kualitas udara yang terkini (real time) dari pemerintah. Substansi laporan Nomor A/HRC/28/61 Tahun 2015 dan Nomor A/HRC/37/59 Tahun 2018 menyatakan bahwa pengejawantahan hak atas lingkungan dilihat dari tiga aspek, yaitu kewajiban prosedural, kewajiban substantif dan peningkatan kewajiban. Aspek informasi masuk dalam kewajiban prosedural.

“Negara wajib memberikan akses informasi yang efektif, terjangkau dan tepat waktu kepada publik, terkait informasi lingkungan terutama kualitas udara kemudian memfasilitasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan dan mempertimbangkan pandangan publik dalam proses melindungi hak berekspresi dan berkumpul terutama saat masyarakat menggunakan haknya terkait permasalahan lingkungan,” urai Sandra.

Pelapor khusus PBB, sambung Sandra, menekankan aspek kewajiban prosedural dalam hal ini akses informasi yang efektif, terjangkau dan tepat waktu kepada publik artinya kepada seluruh warga masyarakat. Jadi apabila informasi itu tidak tepat waktu, tidak terjangkau oleh seluruh warga dan tidak efektif dari situ dapat dilihat bahwa negara belum menghormati dan memenuhi hak asasi dari setiap warga.

Kuasa Penggugat kemudian menyinggung soal standar baku mutu udara bersih dan sehat yang ditetapkan oleh pemerintah RI. Standar yang ditetapkan pada tahun 1999 pada kenyataannya tidak sesuai dengan standar WHO atau masih di bawah angka standar kesehatan yang diakui secara internasional.

Warga dan pemulung, terutama kelompok rentan ibu dan anak yang bermukim di sekitar TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu kurang memahami tentang peraturan perundangan dan upaya-upaya untuk mendapatkan pemenuhan udara bersih. Maka mesti ada kelompok-kelompok atau organisasi kesehatan dan lingkungan yang melakukan advokasi pada mereka. Karena perjuangan tersebut tidak mudah, membutuhkan pikiran, tenaga, waktu lama dan sumberdaya yang mencukupi.* 16/12/2024

(Red/Dian.S)