Badarnusantaranews.com|Bekasi,-“Klien (anak buah petugas partai) itu kini semakin perkasa, kelompok politik yang didukung mencapai kemenangan dalam Pemilu 2024. Sekarang boleh dibilang sebagai Patron baru, meskipun sangat dibenci oleh kawan-kawan Parpol pengusungnya yang dulu, bahkan sudah tidak diakui sebagai anggota partai. Sepertinya juga Patron lamanya pun sudah begitu muak. Namun, masih banyak yang cinta dan semakin loyal pada dia, kini sudah menjadi Patron baru”. (Bagong Suyoto, 26/4/2024).
Dulu kawan setia, sangat setia. Pendukung utama dan setia sekali. Bahkan, merupakan anak buah, petugas partai yang sangat setia. Sang loyalis sejati! Ketika itu pamornya bertambah mencorong. Ia pakai baju kotak-kotak. Semakin banyak yang ikut pakai baju kotak-kotak.
Sekarang, jadi beda, ada jaraknya begitu jauh dan abu-abu, tetapi sangat mengkhawatirkan. Sebenarnya kubu Capres mana yang ia dukung? Karena bisa menggeroti kharisma, pamor sang Ketum, dalam konteks lebih agung disebut Patron. Sebab, sekarang jadi lawan.
Kawan, pendukung utama bisa jadi lawan berbahaya! Sebaliknya, lawan utama, lawan bebuyutan bisa jadi pendukung utama. Bahkan, menjadi pembela di garis terdepan. Itulah siklus kehidupan dalam lautan kekuasaan. Merah menjadi putih atau cream.
Dulu dikatakan anak buah (client), petugas partai yang merangkak dari kursi walikota, gubernur hingga menjadi Presiden, eksekutif paling TOP di republik ini. Nasibnya sangat mujur, mengalami lompatan luar biasa, “seakan” menandingi atau melampaui capaian politik dan pamor kekuasaan Sang Patronya. Maka sangat jelas, ia memiliki peta kekuatan dan sumber daya tersendiri, yang tidak mudah diperhitungkan dan dirontokkan.
Jikalau dilihat di kamus, istilah patron diartikan sebagai pelindung atau penaung. Sedangkan client salah satu artinya adalah orang yang mendapatkan pertolongan. (Ismai HP, 1988). James Scott mengatakan, apakah ia seorang tuan tanah, seoarang pejabat kecil atau pedagang, seorang patron menurut definisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu para client-nnya. Bisa juga pejabat tinggi, eksekutif nomor satu, Ketum Parpol.
Meskipun para client seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral kepada hubungan itu – oleh karena kedudukannya mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah sekali – patronase itu ada segi baiknya, bukan pertama-tama karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya.
Definisi pertama sangat general dan kedua sudah terinci dengan sejumlah variabel operasiolisasinya, memisahkan jenis-jenis sumberdaya atau kekuatan yang dimiliki patron atau client. Definisi patron harus dibedakan dengan ‘elit’ agar tidak overlapping kepentingannya. ‘Elit’, mungkin, bukanlah orang atau kekayaan tetapi kategori sosial, karena mempunyai karakter tertentu, semisal pemimpin agama, ada (penguasa informal) atau penguasa negara yang diduga sebagai elit. (Sunyoto Usman, 1991).
Sedangkan Prof. Solichin Abdul Wahab menyatakan, yang sangat bergantung sekali keberadaannya kepada sekelompok orang yang menguasai konteks tradisi (adat) dan negara itulah disebut Patron. Jadi, patron tidak berarti menduduki struktur formal, tetapi tak ada dia hubungan-hubungan produksi, hubungan ekonomi, dan hubungan lain akan terganggu. Sehingga norma-norma tadi tak terbentuk dan berjalan dengan sendirinya namun ada yang mengatur dan mengendalikannya, yakni “Sang Patron”. Sedangkan keberadaan client posisinya berlaku sebaliknya.
Client ini telah mencapai karier puncaknya, pengaruhnya begitu kuat di republik ini. Angka kepuasan kinerjannya amat tinggi dari hasil berbagai survey. Sehingga sejumlah Ketum Parpol dan orang penting berkuasa dan kaya mampu dikendalikan, diarahkan untuk kemenangan Capres-Cawapres pilihannya. Arahnya ke Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024.
Ia secara diam-diam atau terbuka menunjukkan dirinya bukan hanya sebagai presiden kuat selama dua periode, melainkan juga sebagai Patron Baru. Berbagai kritik kritis, analitis, dan lainnya menghardik, menghujat tetapi hasilnya tak tergoyahkan. Karena ia adalah Presiden selaku kepala pemerintahan, kepala negara, panglima tertinggi, dan kekuasaan lain dalam konteks Presidensil.
Patron Baru ini lahir bisa diduga atau ditafsirkan karena, memudarkan pamor dan kekuatan Patron Lama. Bisa juga Patron Baru tersebut memiliki networking dan suplai sumberdaya dari Patron Besar atau beberapa Patron Besar, merupakan wujud dari Sang Oligarkhi. Meskipun Sang Oligarkhi tidak menduduki posisi formal, namun perangnya sangat penting bagi kekuasaan dan Parpol di negara ini. Model ini bagian dari sistem shadow state.
Motivasi dan Syarat Hubungan Patron-Client
Hubungan patron-client (tuan-hamba) biasanya terdapat dalam masyarakat petani di pedesaan, juga dapat dikembangkan untuk masyarakat perkotaan (urban) dan dalam konteks politik dari pusat ibokota hingga pedesaan. Hubungan patron-client terjadi karena adanya beberapa syarat, seperti dikemukakan Keith R. Legg, “Patron, Clients, and Politicians: New Perspectives on Political Clientelism, yaitu: Pertama, para sekutu (partners) menguasai sumber-sumber yang tidak dapat diperbandingkan (“noncomparable resources’) atau timpang. Kedua, hubungan tersebut “mempribadi” (“personalized”).
Selanjutnya keputusan untuk mengadakan pertukaran didasarkan pada pengertian saling menguntungkan dan timbal balik (“mutual benefit and resiprocity”). (Ongkhoham, 1983). Dan, hubungan tersebut juga dapat berlangsung dalam suasana ketergantungan dan eksploitasi pihak yang kuat terhadap yang lemah. Lihat notion Norman Long, et al., The Commoditization Debate: Labour Process, Strategy and Social Network, Agriculture University Wageningen, the Netherlands, 1986.
Dalam konteks tersebut, bahwa hubungan yang tidak terjalin antara dua pihak tidak mungkin merupakan tautan patron-client, namun tidak setiap hubungan yang terdiri dari dua pihak merupakan hubungan patron-client. Dalam konteks hubungan patron-client terdapat suatu kecenderungan melahirkan ketergantungan dan eksploitasi terhadap client yang kondisinya relatif subsisten.
Tetapi untuk dapat membuktikan apakah asumsi tersebut benar atau tidak perlu diperhatikan sistem nilai (sosio kultur) yang dianut, apakah sistem nilai Jawa, sistem nilai agama Islam, atau sistem nilai berkasta seperti di Bali. Lalu siapa-siapa pihak yang memainkan dan mengontrol tata nilai tersebut. Inilah kelemahan-kelemahan yang mendasar dalam teori Legg di atas.
1.Penguasaan sumber daya yang timpang
Legg menekankan, azas yang menyatakan bahwa para pelaku dalam hubungan patron-client masing-masing menguasai sumber daya secara tidak seimbang, kiranya penting sekali artinya. Kalau tidak, bagaimana lagi hubungan ketergantungan dapat ditegakkan dan dilestarikan. Pertanyaan serius ini tampaknya cukup menyentuh para penganut teori ketergantungan, model komoditisasi dalam versi mutahir, seperti konsep dan thesis Norman Long. Long bersama Jan Douwe van der Ploeg, Chris Curtin dan Louk Box dari Agricultural University Wageningen berusaha membangun suatu “model komoditisasi, proses buruh, startegi dan jaringan sosialnya”. (Norman Long et el., 1986).
Dalam konteks politik dapat dilihat, bahwa pengurus dan kader Parpol sangat lemah dan tergantung pada Ketum Parpol. Untuk menjadi bakal calon gubernur, bupati/walikota menunggu SK Ketum. Untuk memutuskan menerima RUU tertentu harus dapat ijin dari bos besarnya. Ketum Parpol punya hak-hak istimewa dan prerogratif. Seperti hak mutlak yang diputuskan oleh dirinya sendiri, tak perlu musyawarah. Ini merupakan aspek umum dari hukum feodal atau kerajaan. Berarti, kekuasaan Ketum Parpol mengarah ke otoritarian. Kehendak Ketum adalah hukum dalam Parpol.
Biasanya para pengamat menggunakan tolok ukur berupa perbandingan kekayaan, kedudukan (status quo), atau pengaruh pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan patron-client tersebut. Terutama yang berkaitan dengan ‘kapital’ yang merupakan aset penting melandasi hubungan patron-client, ditinjau dari pembentukan dan pemanfaatannya.
Selain berbagai jenis kapital seperti yang disajikan Huijsman, Long menambahkan aset kapital untuk alat-alat produksi, yakni “water and technology”. Sehingga konskuensinya siapa dan berapa besar dan bagaimana aset tadi dikuasai oleh perorangan atau kelompok tertentu, yang bagaimana pun bisa disebut sebagai patron. Yang mempunyai bargaining position lebih kuat dan menentukan (mengendalikan) dalam derajat tertentu pola hubungan produksi yang ditetapkan bersama para client-nya.
Jeremy Boissevain diikuti oleh Legg, membedakan sumberdaya menjadi: Urutan pertama (first-order resources), yaitu sumberdaya yang langsung ada di bawah kekuasaan pribadi sang Patron, dan sumberdaya urutan kedua (second-order resources), yairu sumberdaya yang menjadi milik seorang atau lembaga yang dikendalikan oleh sang Patron.
Sementara itu Scott memisahkan sumberdaya dilihat dari “dimensi security-nya”. Sumberdaya yang paling aman adalah pengetahuan dan ketrampilan perorangan. Berikutnya adalah sumberdaya berupa harta tidak bergerak, seperti tanah, rumah yang dikuasai seseorang secara langsung. Sedangkan sumberdaya yang kurang aman adalah penguasaan atau penggunaan benda atau wewenang orang lain.
Pada zaman sekarang dapat disimpulkan pemilihan dalam kategorial global kepemilikan sumberdaya/kapital, sebagai berikut: (1) Sumberdaya baru, berupa pendidikan, ketrampilan, teknologi, kekayaan, dan kedudukan atau jabatan yang bisa ditampilkan; dan (2) Sumberdaya lama, berupa tanah dan status yang nilainya dapat merosot (seperti gelar kebangsawanan). Simpulan tersebut relatif dapat berubah-ubah sesuai dengan kepentingannya dalam tingkatan apa dan siapa yang hendak menggunakan.
Selanjutnya dimaksud dengan pengusaan sumberdaya yang timpang, adalah bahwa patron memiliki dan mengendalikan sejumlah kapital seperti yang disebutkan Huijsman, Long, Boissevain, Scott maupun dalam kategorial Lengg sendiri. Sebaliknya seorang client hanya memiliki kapital produksi atau kapital untuk berinteraksi dalam kehidupannya dalam jumlah minimum. Bila mempunyai tanah 0,25 sampai 0,50 ha, satu sampai tiga ekor sapi mungkin juga hanya sapi gaduhan, kondisi rumah jelek atau semi-permanen. Tetapi dari pengelompokkan itu, tampaknya akan lebih jelas bila kembali pada pengertian patron seperti yang dikemukan para ahli di atas.
Konsepsi tersebut konskuensinya, Legg memperingatkan syarat yang menentukan, bahwa para pelaku hubungan harus menguasai sumberdaya “tak sebanding” (noncomparable) secara konseptual lebih berguna dari pada pengusaan sumberdaya yang “timpang” (unequal). Maka analisanya harus ditambahkan dengan ‘motivasi’ para “encon” (sekutu), yang biasanya selalu berkaitan dengan motif-motif politis. Sikap Legg hanya semacam euphumisme atau apologisme atas terjadinya eksploitasi dari hubungan-hubungan produksi, hubungan kekusaan antara patron-client.
Jelas konsep tipe ini menyerang pola hubungan produksi kapitalisme, akibat besarnya kapital dan pertukaran produksi tidak seimbang yang dibangun ideologi kapitalis. Polemik dialektis telah memasuki tahap ideologis, bukan lagi epistemologis an sich. Akan tetapi pengocehan konsep-konsep tersebut harus memperhatikan tahapan aksiologis. Artinya memperhatikan seperangkat nilai sosio-kultur yang melandasi hubungan-hubungan produksi patron-client berlangsung.
2.Hubungan yang mempribadi
Hubungan patron-client syarat utama tak terlepas dari tautan yang mempribadi (personalized relationship), biasanya disebut dengan terma hubungan tatap muka (face to face). Hubungan semacam ini, bahwa patron menunjukkan seperti orang tua (Bapak) dan tanggap serta melindungi terhadap kebutuhan-kebutuhan client. Pihak client memperlihatkan loyalitasnya sebagai seorang anak yang mengabdi pada sang Bapak. Eratnya hubungan inilah yang diasumsikan sebagai ‘tatap muka’, yang berbeda orientasinya pada ‘kemesaraan dalam perilaku politis. Bisa juga dilihat dari jalinan-jalinan antara pengurus, kader Parpol dengan sang Ketum. Kalau bos perempuan, memanggilnya ibu Ketum.
Segera Legg menjelaskan pertentangan-pertentangan ikatan-ikatan tersebut. Secara umum ikatan-ikatan kemesaraan dipertentangkan dengan ikatan-ikatan instrumental, dan dibedakan dengan hubungan-hubungan yang didasarkan pada ‘paksaan dan kekuasaan’. Dalam makna umumnya, kemesaraan menunjuk pada kapasitas emosional atau perasaan. Di dalam segala hal, hubungan dapat memiliki sifat yang demikian itu.
Di dalam kepustakaan mengenai hubungan patron-client, dalil Parson yang menyatakan bahwa kemesaraan merupakan ciri hubungan dalam masyarakat tradisional, telah diterima secara luas. Hal demikian itu terdapat juga pada politik tingkat lokal di dalam masyarakat non-industri. Yanag lebih penting, hal itu mengarah pada penyempurnaan perbedaan konseptual antara hubungan antar-pribadi di masyarakat industri dan non-industri.
Dikhotomi modern-tradisional merupakan klasifikasi tentang luas dan ruang lingkup hubungan antara patron-client. Maka dibuatlah perbedaan antara ikatan “multiplex” dan ikatan “simplex”. Ikatan yang pertama, menunjukkan terjadinya pertukaran antara pihak patron dan pihak client yang berulangkali, dan pertukaran itu mengandung kemesraan yang mendalam, karena hubungan seperti itu merupakan “pribadi yang bulat” (whole person relationship) yang tidak memusat. Ikatan simplex dapat disamakan degan hubungan antar-pribadi dalam masyarakat modern – khususnya hubungan kontrak yang berlangsung di pasaran.
Tampaknya ikatan multiplex bersifat luwes, sedangkan ikatan simplex bersifat mudah putus. Yang lebih penting, ikatan multiplex akan mengecil sejalan dengan berlangsungannya modernisasi dan pada akhirnya berubah menjadi ikatan simplex. Walaupun perbedaan ikatan multiplex dan simplex secara konsepsional mungkin dilakukan, namun prosedur yang diterapkan untuk menciptakan perbedaan tersebut mengandung kelemahan.
Pertama, adanya ikatan multiplex maupun ikatan simplex disimpulkan dari pembagian masyarakat tradisional atau sedang berkembang di satu pihak, dan masyarakat modern di lain pihak. Kedua, bentuk ikatan yang berlaku dalam hubungan tertentu agaknya didasarkan pada status atau kedudukan pihak-pihak yang bersangkutan. Legg membangun proposisi, semakin besar perbedaan status pihak-pihak yang bersangkutan, semakin besar pulalah derajat kemesraan yang diperlukan untuk mempertahankan kelestarian hubungan tersebut.
Tampaknya Legg sampai suatu keyakinan, bahwa modernisasi tidak serta merta melarutkan ikatan-ikatan yang bersifat multiplex dalam masyarakat tradisional menjadi ikatan simplex. Malahan, dalam masyarakat petani, hubungan patron-client tidak selalu seluruh petani menjadi client dan tidak semua pemilik tanah, ternak (livestock), teknologi misalnya, menjadi patron.
Dapatlah dikatakan, bahwa modernisasi dan komersialisasi pedesaan Jawa khususnya yang mewakili revolusi hijau tidak berarti merusak seluruh nilai-nilai atau sendi-sendi tatanan masyarakat setempat. Akan tetapi nilai-nilai atau etik sebagai landasan interaksi yang dimainkan dan dikendalikan para patron pedesaan itulah yang sedang menjadi permasalahan krusial studi tersebut. Demikian pula bisa terjadi di pinggiran kota, perkotaan dan ibukota untuk sektor lainnya, juga dalam bidang politik kekuasaan sekarang ini.
3.Azas saling menguntungkan dan timbal balik
Menurut Legg, bila status merupakan faktor penentu ketimpangan kekuasaan yang dominan, maka kekuatan tawar-menawar (bargaining-position) patron akan lebih besar ketimbang client. Sehingga Pitt-Rivers menyebut sebagai “persahabatan yang berat sebelah” kiranya cukup tepat.
Untuk mempertahankan berlakunya azas saling menguntungkan dan keuntungan timbal balik, diperlukan perubahan syarat “pengusaan sumber yang timpang” menjadi “penguasaan sumber daya yang tak dapat diperbandingkan”. Dalam hal ini, yang penting ialah pemahaman dan keinginan para “encon” (sekutu). Melalui proses pertukaran, prestasi para patron dan client yang berbeda-beda dapat diperbandingkan.
4.Suasana ketergantungan dan eksploitatif
Onghokham mengutip teori ekonomi-politik di pedesaan Samuel L. Popkin (Berkeley University) dalam buku prestisiusnya “The Rational Peasant” menguraikan hubungan patron-client yang bersifat ketergantungan dan eksploitatif. Popkin melihat hubungan patron-client lebih sebagai hubungan kelas. Patron, elit-penguasa-desa memonopoli sumber-sumber ekonomi dan eksploitatif, bukan moral.
Surut Versus Menguatnya Hubungan Patron-Client
Hubungan patron-client walaupun sudah berlangsung relatif lama dan intens, bisa saja surut. Bahkan, sudah dianggap saudara sendiri. Maksudnya pertalian mereka tak lagi dapat dipertahankan, alias retak. Legg mengajukan tiga alasan surutnya jalinan itu, yakni:
Kemakmuran dan keadilan, dengan memperkecil jumlah orang yang tersisih, menggoyahkan kelangsungan hubungan patron-client;
Berbagai segi masyarakat modern yang, walaupun tidak memperkecil jumlah orang tersisih, menampilkan pilihan jalan terhadap tautan patron-client;
Pola-pola perekrutan politik dalam masyarakat modern melenyapkan rangsangan untuk melakukan peranan seorang patron.
Alasan Legg berlaku bagi suatu masyarakat yang cenderung memahami nilai-nilai demokrasi dan kebebasan serta perjuangan hak-hak rakyat tertindas. Kiranya, argumentasi Legg tak cukup bukti dan tidak dapat dipertanggung jawabkan untuk komunitas tertentu. Bagaimana jalinan patron-client dalam sistem “bureaucratic polity” atau masyarakat patrimonial yang mengagungkan nilai-nilai tertentu, seperti kekerabatan keluarga Jawa atau Negara Otoriter Birokratis (OB) Rente yang selama ini dianut regim Orde Baru? Dan, bagaimana pula hubungan patron-client di dalam Negara Otoriter Birokratis (OB) Pembangunan, seperti Korea Selatan, Taiwan.
Gambaran hubungan patron-client di Indonesia mengalami perubahan-perebutan sangat cepat ketika menjelang Pilpres 1914, 1919, 2024, dimana yang dulu sebagai anak buah bertandang melawan sang Patron sebab kebenciaan, kekecewaan atau terbukannya pilihan-pilihan yang lebih menjanjikan. Kemudian, Patron Lama kalah dan muncul Presiden baru sekaligus Patron Baru. Patron Baru tampak semakin kuat dan ingin menguasai, mengendalikan kekuasaan, dan mendominasi semuanya, bahkan ingin merontokkan pamor Patron Lama. Dan, ingatlah Patron Baru tersebut masih melangkah dengan pengetahuan, skill, gaya, sikap dan karakter ala pedesaan, belum modern banget, apalagi post modern!* 26/04/2024
*) Penulis pernah jadi aktivis mahasiswa, peneliti dan kini aktivis lingkungan.(Red)